Senin, 30 September 2013

PRRI dalam Pergolakan Daerah th. 1950-an

Dikarang oleh : DR. Mestika Zed
PRRI DALAM DEKADE PERGOLAKAN DAERAH TAHUN 1950-an.
Mestika Zed
Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE)
Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.
MENGKAJI ulang sejarah bangsa adalah perbuatan universal.
Bangsa-bangsa, menemukan kembali masa lampau mereka dan menuliskannya lagi sebagai ingatan bersama.
Sejarah, sebagai proses hanya sekali terjadieinmalig, tetapi sejarah sebagaimana ia dipahami, bukanlah pahatan batu nisan yang beku dan dingin.
Ia terbuka untuk dikaji ulang.
Semua ini bukan secara kebetulan dan bukan pula bersifat acak, melainkan suatu rangkaian percakapan (wacana) tanpa henti tentang pembelajaran sejarah, yaitu mengenai manusia dan kemanusiaan.
Keteladanan nilai tentu tidak harus diikat pada masa lalu yang beku, sebab ia dapat berada pada masa depan, pada ide-ide yang membuka ruang imajinasi peradaban.
 Dunia dan peradaban bangsa-bangsa berubah dan historiografi,... maksudnyapenulisan sejarah..... juga mengalami perubahan bersamanya.
Dalam sejarah Indonesia modern paska perjuangan kemerdekaan, kita mungkin dapat meletakkan sejarah 1950-an sebagai suatu “unit historis” yang penting, tetapi sejarahnya masih belum terpahami sepenuhnya, karena tersandera oleh propaganda politik ideologi rejim sesudahnya, yang memasung ingatan kolekif bangsa menurut sejarah sang pemenang.
Akibatnya, potret gelap sejarah dekade 1950-an tetap bertahan bahkan sampai pemimpin era itu sudah tidak ada lagi (Vicker, 2008).
Sejarah periode ini ditandai dengan sejarah penuh “pergolakan”, pergolakan daerah terutama.
Pada masa ini tercatat setidaknya 8 (delapan) gerakan perlawanan menentang pusat (lihat tabel di bawah); masing-masing memiliki karaktersitik berbeda-beda, baik latar belakang, maupun proses dan tujuan akhirnya.
Dalam risalah sederhana ini saya akan coba mengkaji ulang salah satu daripadanya, yaitu pergolakan daerah yang dimotori oleh Dewan Perjuangan yang bermuara pada kasus PRRI 1958-1961.
Sejarahnya dapat dilacak dalam empat fase berikut:
(i) Prakondisi 1956-1957;
(ii) Pecahnya perang Maret-Juni 1958;
(iii) Fase perang gerilya, Mid 1958-1961, PRRI;
(iv) Dampak Eksesif, 1961-1965, yaitu era kemenangan rejim Jakarta.


Fase I: Prakondisi.
Memasuki tahun 1950-an Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka mulai berdaulat dan belajar berpemerintahan sendiri.
Bersamaan dengan itu, keadaan paska perang belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Infrastruktur, jalan dan jembatan, fasilitas publik yang hancur berantakan di masa perang nyaris belum tersentuh pembangunan kembali.
Jatuh bangun pemerintahan mengakibatkan perhatian terhadap daerah terabaikan.
Sementara itu, cita-cita kemerdekaan yang masih hangat dalam memori kolektif para pemimpin dan rakyat di daerah justru melahirkan kekecewaaan karena tidak sesuai dengan yang dibayangkan sebelumnya.
Mereka masih tetap berpegang teguh pada pemikiran bahwa setelah merdeka, Indonesia harus menjadi bangsa yang ‘modern’, dalam arti Indonesia harus sejajar dengan Barat.
Bahasa mereka menekankan ide-ide progresif menentang feodalisme, keharusan adanya mobilitas sosial yang radikal, koeli word toean – kuli menjadi tuan.
Namun sampai pertengahan tahun 1950-an, kondisi paska perang tidak menunjukkan perubahan yang berarti.
 Akan tetapi kekekecewaan daerah terhadap kebijakan nasional lebih dari sekedar merupakan akumulasi anekaragam masalah yang timbul paska Pemilu 1955.
Di antaranya ialah:
(i) tuntutan otonomi daerah luas dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta tuntutan perimbangan keuangan yang wajar, layak dan berkeadilan antara daerah dan pusat.
Erat kaitannya dengan ini penguasaan sumber daya ekonomi luar Jawa, khususnya Sumatera Tengah (perkebunan, tambang dan sektor moneter dan ekonomi manufaktur) berada di bawah kendali pusat dan hanya sedikit yang disisakan untuk daerah.
(ii) masalah integrasi berbagai kesatuan bersenjata lokal menjadi angkatan darat regular, termasuk masalah akseptabilitas tokoh kepala staf angkatan darat; campur tangan parlemen terhadap masalah intern angkatan darat; hubungan antara Presiden Soekarno dengan kabinet parlementer dan kepemimpinan angkatan darat; (iii) masalah keretakan Dwitunggal Soekarno-Hatta yang berakhir dengan pengunduran diri Wakil Presiden Hatta bulan Desember 1956;
(iv) masalah ideologis pasca Pemilihan Umum I tahun 1955 sehubungan dengan penyusunan konstitusi baru pengganti Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950; masalah konsepsi Soekarno sejak tahun 1957 dan last but not least ialah come-back-nya PKI sebagai salah satu partai besar pemenang Pemilu 1955 yang berlindung di balik gezag Presiden Soekarno.
Yang lebih menyakitkan lagi bagi daerah ialah bahwa selama perang kemerdekaan mereka telah memperlihatkan loyalitas dan pengorbanan tanpa batas untuk kemerdekaan.
Namun banyak kebijakan pemerintah pusat yang sewenang-wenang, yang membuat para pemimpin dan rakyat di pulau itu merasa diperlakukan tidak adil.
Mereka memandang rejim Jakarta tak tahu berterima kasih dan diskriminatif.
Dalam kaitan ini tidak heran jika jajaran kelompok tentara di daerah paling merasakannya.
Terlebih lagi tatkala upaya pembonsaian satuan tentara Divisi Banteng yang di masa perjuangan kemerdekaan sangat kuat dan andal dalam pertempuran melawan Belanda dipandang sebagai tindakan pecah-belah.
Divisi ini kemudian dipecah-belah, beberapa unit dikirim ke daerah lain di Indonesia dan sisanya ditempatkan di bawah komando teritorial Sumatera Utara di Medan; pemindahan komandan terbaik mereka, keharusan menerima bekas tantara KNIL masuk ke tentara Republik, dikeluarkannya sebagian tentara pejuang dari kedinasan.
Faktor-faktor ini meninggalkan pengalaman pahit dan menimbulkan perasaan dendam terhadap pusat yang diidentikkan dengan Jawa.
Beberapa ikhtiar untuk mendamaikan konflik pusat dan daerah telah dilakukan, baik lewat lobi-lobi pribadi maupun lewat forum terbuka nasional seperti Munas kjemudian Munap bulan September 1957, Piagam Palembang dan lain-lain.
Namun niat baik itu menjadi mentah ketika terjadi “Peristiwa Cikini di akhir November 1957, sehingga segala sesuatu yang diupayakan sebelumnya menjadi buyar dan pada saat yang sama teror, intimidasi dan fitnah makin tak terkendali.
Sejumlah pemimpin terpaksa menyelamatkan diri keluar Jakarta dan bergabung dengan dewan-dewan perjuanagan di daerah yang dipelopori oleh kelompok militer Sumatera Tengah (Kol. Ahmad Husein) dengan mendirikan Dewan Banteng, kemudian disusul oleh Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Kol. Burlian), Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kol. Simbolon), Dewan Lambung Mangkurat dan Permesta di Sulawesi (Kol. Ventje Samual).
Dengan pelembagaan gerakan protes menentang Jakarta ini, polarisasi pertentangan pusat dan daerah dan sebaliknya semakin mendekatkan daerah ke tubir jurang perpecahan yang lebih dalam.

Fase II: Pecahnya ’Perang Saudara’ (Civil War).
Ketika semua upaya rekonsialisasi mengalami jalan buntu, sebuah badan disebut dengan Dewan Perjuangan, yaitu unsur inti dari gabungan dewan-dewan yang disebut sebelumnya, mengeluarkan ultimatum kepada pusat pada 10 Februari 1958, setelah mengadakan rapat di Sungai Dareh, Sumatera Tengah.
Isinya antara lain ialah tuntutan agar Kabinet (Pemerintahan) Djuanda dibubarkan dan menyerahkan mandatnya kepada Presiden atau Pejabat Presiden; memberikan kesempatan dan bantuan sepenuhnya kepada Hatta dan Sultan Hamengkubuwno IX untuk membentuk “zakenkabinet” sampai Pemilu berikutnya; meminta kepada Presiden Soekarno agar bersedia kembali sebagai Presiden konstitusional dengan membatalkan semua tindakannya yang melanggar konstitusi selama ini.
Apabila dalam tempo 5 x 24 jam Presiden Soekarno dan Kabinet Djuanda tidak mememuhi tuntutan tersebut, maka mereka akan membentuk pemerintahan sendiri yang “terlepas dari kewajiban untuk mentaati pemerintah Jakarta.” Oleh karena kedua belah pihak tidak mau mundur dengan pendirian masin-masing, maka ketika ultimatum itu mencapai tenggat waktu yang ditetapkan, maka pada tanggal 15 Februari, genderang “perang saudara” segara ditabuh.
Itu ditandai dengan dibentuknya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indoensia) lengkap dengan susunan kabinet tandingan Jakarta.
Beberapa tokoh utamanya, ialah Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara (bekas Ketua PDRI) sebagai Perdana Menterinya.
Sejumlah tokoh pusat juga bergabung ke dalamnya seperti Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Asa’at, Moh. Natsir, Kol. Zulkifli Lubis dan bekas Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan lain-lain.
Sejak itu meletuslah apa yang disebut oleh Jakarta sebagai ”pemberontakan” oleh PRRI, tetapi sebaliknya para pendukungnya menyebut gerakan mereka sebagai ”pergolakan” daerah menentang rejim Jakarta yang inkonstitusional.
Inilah manuver militer dan intelijen RI terbesar setelah merdeka.
Tentara pusat (APRI) atau “tentara Soekarno”, mengerahkan seluruh angkatan perang (darat, laut dan udara dan kepolisian).
Kekuatan APRI waktu pertama diterjunkan mencapai lebih 20.000 pasukan.
Mereka umumnya dari Satuan Diponogoro, yang waktu itu kebanyakan sudah disusupi oleh kelompok merah (komunis).
Semantara Kekuatan PRRI pada tahap awalnya disokong oleh CIA.
Namun karena sama sekali tidak menduga dan karena itu tidak siap untuk menghadapi perang ’sungguhan’, maka kota-kota di Sumatera Tengah dengan mudah dapat diduduki.
Pusat perlawanan terutama terjadi di Sumatera Barat dan Riau serta mitra PRRI, yaitu Permesta di Sulawesi.
Para pejuang PRRI secara lambat laun tapi pasti terpaksa mundur ke pedalaman dengan melancarkan perang gerilya.
Fase III : Bergerilya dan Jatuhnya Korban.
Sesuai dengan sifatnya, suasana perang menimbulkan tindakan anarkis, brutal yang menyebabkan banyak korban jatuh akibat tindak kekerasan, begitu juga penyalahgunaan wewenang militer, teror, pemerkosaan, pendobrakan rumah penduduk, sampai pada penyiksaan dan pembunuhan.
Lebih tragis lagi, sebegitu banyak generasi muda Minang yang hilang (generasi antara angkatan 45 dan 66) karena sebagian besar penduduk Sumatera Barat bergabung dengan PRRI.
Pihak CIA yang semula membantu PRRI lambat laun menarik dukungannya dan berpaling kepada pemerintah pusat yang mengirim pasukannya secara periodik dari kesatuannya di Jawa.
Menurut laporan korban di pihak (pemerintah) terbunuh sebanyak 983 orang, 1.695 luka-luka dan 154 orang hilang, sementara pihak PRRI sebanyak 6.373 terbunuh, 1.201 terluka dan yang tertangkap serta 6.057 yang menyerah (W.A.Hanna, 1959:14).
Menurut sumber resmi Kodam 17 Agustus di pihak PRRI sebanyak 6.115 tewas dan 627 yang hilang, sedang pihak Kodam III/APRI sebanyak 1.031 tewas, dengan rincian 329 tentara, 56 brimob, 67 OPR, 7 pegawai dan 572 rakyat (Caturwarsa, 1963: 81).
Jumlah ini belum termasuk kasus-kasus penyiksaaan dan pemerkosaan serta teror.
Fase IV: Dampak Eksesive.
Ekses dari perang saudara itu berlangsung antara 1961-1965, yaitu era kemenangan ‘tentara Sukarno’ dan berlakunya Demokrasi Terpimpin yang sekaligus menandai dimulainya rejim Orde Lama yang semakin militeristik dan oversentralsitik.
Dengan bekerjanya mesin politik rejim dengan partai komunis, PKI sebagai garda terdepannya, orang Sumatera Barat khususnya mengalami perlakukan yang sewenang-wenang sebagai ‘orang kalah perang’.
PKI dengan onderbouw-nya, OPR, melakukan teror dan penekanan terhadap semua unsur yang dituduh terlibat PRRI.
Termasuk razia gestapu dan keluarnya KTP dengan cap “K” ;
rumah-rumah keluarga ‘pemberontak’ dicap silang, “X” pertanda eks PRRI dan macam-macam larangan, termasuk pemecatan dan tidak diberi izin naik haji.
Bagi mereka yang tidak tahan dihina dan menderita di kampung halaman, meninggalkan kampung halaman.
Maka sejak itu terjadilah eksodus besar-besaran keluar daerah.
Dampak psikologis berupa stigma ‘pemberontak’ untuk orang Sumatera Barat masih tetap berlangsung, walaupun telah terjadi pergantian rejim dari Orde Lama ke Orde Baru Soeharto.
Reinterpretasi Sejarah PRRI
Bagaimanakah kita harus mencermati kembali pengalaman sejarah bangsa yang tak menyenangkan pada dekade itu?
Jika hampir semua pihak menyesali terjadinya konflik bersenjata yang amat serius itu, baik pada masa itu, maupun di dibelakang hari, pihak manakah yang harus dipersalahkan?
Siapakah sebenarnya yang diuntungkan dan sebaliknya siapakah yang dirugikan?
Apakah kegusaran daerah terhadap kelambanan pemerintah di pusat dalam menangani isu-isu nasional paska perang tidak perlu diperhitungkan alias dapat diabaikan?
Apakah jurang perbedaan pusat-daerah harus diselesaikan dengan pendekatan ‘keamanan’ atau menyerang daerah yang lemah karena dianggap melanggar konstitusi?
Apakah dalam negara modern, masih berlaku warisan kekuasaan kerajaan lama (baca: feodalisme), yang mengatakan “the king do no wrong?”
Jelas, bahwa semua pertanyaan ini tidak mungkin dijawab dengan potret hitam putih.
Sejarah hadir dalam peristiwa-peristiwa.
Peristiwa memerlukan tokoh.
Dan tokoh harus tewas dalam peristiwa atau kalau tidak, dibenamkan dalam sejarah.
Dengan cara itu, sejarah diulang-ulang dan tokoh diingat-ingat atau sebaliknya dikucilkan dari sejarah.
Mengulang dan mengingat sejarah bangsa haruslah bersumber pada diskursus rejim yang berkuasa.
Setidaknya begitulah yang berlaku dalam iklim kekuasaan otoritarianisme, yang menentukan siapa sang pemenang dan siapa pecundang;
siapa untung dan siapa buntung.
Namun dalam iklim demokratis yang sehat dan makin terbuka dewasa ini, narasi-narasi sejarah makin membuka ruang akal sehat untuk menemukan kembali sejarah pergolakan tahun 1950-an?
Apakah yang menjadi sebab-musabab pergolakan di tanah air dalam tahun 1950-an tersebut, khususnya dalam kasus PRRI?
Sekali lagi, pertanyaan ini sangat musykil dijawab hitam putih, karena para tokoh dan peristiwa tidak selalu linear dalam alur sejarah yang sedang berlangsung.
Tentang ini ada dua sudut pandang.
Pertama, pemerintah mencari sebab itu dalam dunia ketidakpuasan yang berputar di sekitar pembangunan dan otonomi daerah, seraya menyalahkan pemimpin yang tidak sehaluan dengan garis resmi sebagai “pembangkang” yang harus diamankan.
Selain dari adanya perbedaan faham tentang pengertian pembangunan dan otonomi antara Pemerintah Pusat dan dewan-dewan di daerah (luar Jawa), maka yang menjadi sebab pergolakan adalah jauh lebih luas dan jauh lebih dalam dari pada dua sebab yang disebutkan Pemerintah.Perasaan kecewa daerah karena “kemerdekaan” yang dinanti-natikan tak kunjung terwujud, karena pemerintah pusat sibuk dengan urusan kekuasaan, sehingga di daerah timbul perasaan “makin merdeka makin melarat” (dikutip dari Yamin 2009: 25).
Fakta bahwa terjadi ketimpangan pembangunan yang hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa adalah satu hal, yang membuat hilangnya kepercayaan dan wibawa pemerintah pusat di mata daerah bergolak.
Hal lain yang lebih dalam ialah perasaan diperlakukan tidak adil karena baik unsur sipil maupun militer di daerah hanya menerima perintah dari pusat, sementara suara daerah terabaikan.
Persoalan ini lebih dirasakan oleh daerah khususnya Sumatera Barat, kampung halaman orang Minang Kabau yang terbiasa hidup berdemokrasi dan bermusyawarah.
“Lubuk perasaan Minang sangat sukar diselami dan sangat tertutup bagi orang yang curiga padanya, walaupun bagaimana juga orang Sumatera Tengah suka berbicara dan suka berunding serta bermufakat untuk kepentingan umum.
Memang untuk berkata-kata dipakai lidah, menurut peradaban Minang, untuk melahirkan pikiran, tetapi pintu dialog pun tertutup tatkala “Insiden Cikini” meletus akhir November 1957, seperti disinyalir banyak pengamat, merupakan provokasi menggagalkan adanya rekonsiliasi nasional.
Kasus Cikini masih diliputi misteri, tetapi jika pandangan ini benar, maka kelompok yang tidak menghendaki terjadinya rekonsialisasi itu adalah kelompok PKI, sebab baik pemerintah maupun kelompok daerah, keduanya menyediakan diri mereka untuk melakukan rujuk nasional dalam rangkaian pertemuan yang disepakti tetapi gagal dilangsungkan.
Apakah PRRI pemberontak atau bukan, tergantung pada pengertian dan titik pandang yang digunakan.
Memang, pemerintah sejak semula dan sampai kini (dalam buku-buku sejarah) menggunakan kata “pemberontakan” terhadap PRRI dan karena itu dipandang inkonstitusional dan bahkan dituduh sebagai gerakan saparatis dan petualangan pribadi.
Namun pandangan semacam itu, menurut Yamin, kecuali “dangkal tetapi juga menyesatkan”.
Negara ini adalah negara hukum (Rechtstaat) dan bukan negara undang-undang (Wetstaat).
Antara keduanya terdapat perbedaan tajam.
Yang pertama mengandung penilaian kepantasan (waardeeringsordeel) dan kesadara hukum tak tekrulis (rechtsbewustzijn), semantara yang kedua, legal-formal dan procedural yang semata-mata bersandar pada teks yang tertulis.
Berdasarkan bukti-bukti yang tersedia tidak ada maksud PRRI untuk mendirikan Negara dalam Negara dan juga tidak ada tuntutan untuk menggulingkan pemerintah, kecuali mengajukan pemerintahan tandingan di Jakarta yang dianggap sudah inkonstitusional.
Seperti terlihat dari tuntutan yang diajukannya, juga tidak ada tuntutan daerahisme (Sumateraisme, Sulawesiisme dan sejenisnya, kecuali semata-mata mencerminkan kegusaran dan kepedualian daerah terhadap isu-isu nasional yang tidak menentu.
Daerah bergolak tetap menghormati Soekarno sebagai Presiden RI, dan lagi pula tidak ada satu pun lambang Negara yang diubah.
Bagaimanapun juga daerah bergolak merasa berhak (rechtmatig) memberikan peringatan terhadap pusat, meskipun illegal.
Tetapi demi perubahan ke arah yang lebih baik demi kepentingan nasional, adakalanya tindakan illegal dapat dibenarkan sebagaimana terjadi dalam banyak kasus sejarah bangsa kita.
Barangkali hanya Mohammad Hatta yang tetap konsisten sebagai demokrat sejati dalam kasus PRRI.
Ia prihatin dengan keadaan yang sedang terjadi dan coba mengingatkan kepada Jenderal Mayor A.H. Nasution, supaya “jangan mengambil tindakan bersenjata di Sumatera dan Sulawesi” karena serangan bersenjata bukan satu-satunya jalan keluar. ....namun Nasution ngotot menolak.
Hatta hanyalah rakyat biasa yang tak punya kuku untuk mencegahnya.
Ia tetap memutuskan untuk mengejar dan menangkap Ahmad Husein saja serta orang-orang di sekelilingnya.
Dalam buku Howard P. Jones, (mantan Duta Besar AS di Jakarta), berjudul "Indonesia, The Possible Dream (1977), Hatta mengingatkan Nasution: “ .......... I did not agree, that the army should launch an attack on the rebels.
That was a mistake ...... ".
Hatta juga mengutuk Ahmad Husein dengan proklamasi PRRI-nya, dan pada saat yang sama juga mengutuk Nasution dengan langkah perangnya yang fatal itu.
Sesudah mengundurkan diri nya sebagai Wakil Presiden Desember 1956, Hatta bagi Nasution tentu bukan siapa-siapa lagi kecuali cuma sebagai warga negara biasa.
Lagi pula Sukarno juga sudah patah arang dengan Hatta dalam memandang PRRI.
Bagi Sang Presiden PRRI adalah Pancasila Crusade dan karena itu membenarkan dijatuhkan hukuman dengan cara menumpas PRRI sampai ke akar-akarnya.
Istilah ‘pemberontakan’ yang digunakannya Nasution dan juga bagi Presiden, menunjukkan persepsi pribadi keduanya dengan alasan sendiri-sendiri.
Bagi Sukarno PRRI merupakan ancaman serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan negara secara menyeluruh.
Itulah obsesinya sejak muda, tetapi ia mengabaikan sila yang lain, “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Suatu tantangan yang kita hadapi dalam memahami seluruh perkembangan sejarah yang bersifat wide-gauged ini adalah paradigma apa yang akan kita gunakan untuk menafsirkan perkembangan yang terjadi.
Istilah yang realatif netral dan akademis, agaknya lebih tetap menggunakan istilah “perang saudara” (civill war) antara pusat dan PRRI sebagai gerakan nasional di daerah.
Adalah suatu hal yang menarik untuk diperhatikan bahwa baik R.Z, Leirissa maupun G.MT. Kahin memusatkan perhatiannya pada kebijakan para tokoh puncak dalam struktur pemerintahan negara.
Kebijakan, strategi serta keputusan yang mereka ambil, yang berlangsung dalam tatanan kenegaraan yang memiliki otoritas legal itu, baik tepat maupun tidak baik, disetujui maupun ditentang oleh rakyatnya sendiri, secara de facto sangat mempengaruhi perkembanqan sejarah.
Pembahasan masalah PRRI-Permesta memang akan terkait pada peranan tokoh-tokoh sentral Presiden Soekarno, Perdana Menteri Djuanda, Nasution dan peranan PKI di belakang layar, di samping tokoh-tokoh anti-Jakarta seperti Kolonel Zulkifli Lubis dan Letnan Kolonel Ahmad Husein, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, Mr. Moh. Rasjid dan lain-lain tak terkecuali keterlibatan pihak asing, khususnya kakak-beradik, John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri AS serta Kepala CIA W. Alien Dulles waktu itu.
Penutup
Dekade 1950-an adalah dekade penuh pergolakan.
Jika makin ditarik ke belakang, daerah manakah yang tidak pernah melakukan ”pemberontakan” menentang rejim Jakarta?
Mengapa mereka memberontak?
Dapat dipastikan masing-masing memiliki alasan berbeda-beda, baik dasar ideologisnya atau tujuannya.
Namun boleh dikatakan hampir semuanya bersentuhan dengan pe rasa an diperlakukan tidak adil, sebagian lain mungkin karena kompetisi kekuasaan atau mempertahankan diri dari rasa nyaman dan reputasi.

Sejauh berkenaan dengan kasus PRRI, ia merupakan representasi ketidakpuasan nasionalyang dimunculkan di daerah bergolak, yang didukung oleh para pemimpin nasional dan lokal dari berbagai aliran, sipil dan militer, pemuda dan rakyat kebanyakan.
Dalam satu dan lain hal PRRI adalah Reformasi avant le latere, reformasi yang kelewat dini, karena klaim PRRI terhadap pusat ternyata dibenarkan oleh sejarah yang lebih kemudian, ketika tuntutan pembubaran PKI baru terlaksana pada masa Orde Baru dan tuntutan otonomi yang lebih luas pada era reformasi, betapapun hasilnya masih mengecewakan, keduanya adalah gagasan yang sudah dicetuskan secara lantang oleh daerah bergolak tahun 1950-an.
Jika ada hasil yang dapat dicapai dari proses pembelajaran sejarah hubungan pusat-daerah dalam dekade tahun 1950-an, maka hasil itu ialah bahwa pemerintah bisa keliru dalam mengambil kebijakan dan mampu mengakui kekeliruan dan bahkan kebohongan tindakannya tanpa perlu mengambil jalan kekerasan demi menjalankan amanah konstitusionalnya.
Padang 17-3-2011
Kepustakaan.
Adrian Vikers, “Mengapa Tahun 1950-an Penting bagi Kajian Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (eds.). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, Kitlv dan Pustaka Larasan, 2008).
Alwin Nurdin, “Penggranatan Cikini. Provokasi Menggagalkan Rekonsialisi Nasional dan Pemicu Perang Saudara antar-Pejuang ’45.” Makalah, Jakarta, 2006.
Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme. Sumatera Barat Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Obor 2007.
Kahin, Audrey. Dari Pemberontakan ke Integrasi. Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Terjemahan.Jakarta: Yayasan Obor, 2005.
Kementerian Penerangan, Keterangan Pemerintah tentang Persoalan Sumatra Djakarta: Penerbitan Khusus, 1958.
PRRI, Penjelewenangan Jang Membahayakan Negara. Djakarta: Kementerian Penerangan, 1958.
Kodam II 17 Agustus, Sedjarah Kodam II 17 Agustus. Padang: Sedjarah Militer Kodam 17 Agustus, 1970
R. Z. Leirissa, PRRI-Permesta : Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta : Grafitipers, cetakan pertama 1990.
Mestika Zed, “PRRI dalam Perspektif Militer dan Politik Regional : Sebuah Reinterpretasi” dalam Jurnal Studi Amerika (UI), NO. (1999).
Mestika Zed, Edi Utama dan Hasril Chaniago, Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1950. Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Mestika Zed dan Hasril Chaniago, Perlawanan Seorang Pejuang. Biografi Kolonel Ahmad Hussein. Jakarta: Sinar Harapan, 2001.
Moh Yamin. Dewan Banteng Contra NeoNingrat. Naskah Pidato Yamin di Parlemen akhir 1957. Diterbitkan kembali oleh LPPM Tanmalaka, Jakarta, 2009.
Saafroedin Bahar, “PRRI-PERMESTA : Sebuah Kasus Keterkaitan antara Masalah Integrasi Nasional dan Perang Dingin”, Makalah UI. April 1998.
Sjoeib, Let. Kol . Purn. “Era Eksperimen Politik Dari Presiden Soekarno, 1956-1966, Makalah UI, April 1998 Syamdani, PRRI. Pemberontakan atau Bukan? Jakarta: Medpress, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar