Senin, 14 Oktober 2013

Eggi Sudjana : Tanggapan SBY Terhadap LHI Norak

  • Minggu, 13 Oktober 2013 23:48
  • Oleh:  
Eggi Sudjana

Jakarta, Sayangi.com - Tanggapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang Bunda Puteri yang diungkap Luthfi Ishaq Hasan (LHI) dinilai Advokat Senior Eggi Sudjana norak. "Mestinya SBY mengungkap itu di muka persidangan sebagai saksi di bawah sumpah," ucapnya kepada Sayangi.com, Senin (14/10) dini hari.
Eggi pun sepakat bila Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memberikan kesempatan kepada SBY mengklarifikasi pernyataan LHI. "Karena koridor hukum memberikan kesempatan SBY untuk itu. Tapi statusnya harus saksi di bawah sumpah," pinta mantan Calon Gubernur Jawa Timur itu.
"Jadi tanggapan SBY itu resmi. Bukan tanggapan norak di luar sidang, apalagi keterangannya tidak di bawah sumpah," imbuh Eggi.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Presiden SBY membantah pernyataan LHI di Pengadilan Tipikor bahwa Bunda Puteri adalah orang yang dekat dengannya. "Itu bohong 2000 persen!" bantah SBY lengkap dengan aura kemarahannya. (MD)

Jumat, 04 Oktober 2013

Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (1)

Bagi setiap orang yang sekarang berminat mempelajari Boedi Oetomo, ia sulit meninggalkan karya Akira Nagazumi, “The Dawn of Indonesian Nationalism“. Karya ini dapat disebut “karya klasik” mengenai  Boedi Oetomo.

Profesor Akira Nagazumi dari Universitas Tokyo menjelaskan panjang lebar soal pertumbuhan dan pengaruh Budi Utomo sejak didirikan pada tahun 1908, sebagai organisasi nasionalis pertama di Indonesia. Menurut dia, organisasi ini lebih bersifat kebudayaan daripada politik.
Meskipun karya tersebut baru diterbitkan berupa buku oleh Institute of Development Economics, Tokyo, tahun 1972, dan merupakan penyempurnaan dari disertasi Akira Nagazumi di Universitas Cornell, Amerika Serikat, lima tahun sebelumnya (1967), pengupasannya mengenai Boedi Oetomo mulai dari lahirnya pada 20 Mei 1908 sampai sepuluh tahun usianya (1918) dapat dijadikan acuan bagi mereka yang berminat mempelajari organisasi yang penting bagi sejarah Indonesia itu.
Judul bukunya Fajar-Menyingsingnya Nasionalisme Indonesia itu sering dinilai tidak tepat sebab Boedi Oetomo belum merupakan sebuah organisasi yang memperjuangkan cita-cita kebangsaan Indonesia seperti yang pada 1945 diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta.
Berikut sebuah tulisan dari Akira Nagazumi dari Majalah Tempo yang terbit 4 Juni 1988 dengan judul “Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa”.

Cerita Amriki di PRRI dan CIA di Permesta

Hatta… Kau benar,”katanya dalam bahasa Belanda. Hatta tidak merespon kata-kata itu. Ia hanya tepekur. Sedih. Dan tentunya itu bukan sebuah kepura-puraan.Waktu kemudian menjadi saksi, pertemuan dua sahabat yang mengantarkan kelahiran bayi bernama Indonesia itu, adalah pertemuan terakhir kalinya. Beberapa hari kemudian, tepatnya 21 Juni 1970 Soekarno pun pergi untuk selamanya.
Saat mendengar Soekarno meninggal, konon Hatta terdiam lama. Saya yakin, itu adalah sebentuk rasa kesedihan yang luar biasa bagi laki-laki sederhana tersebut. Ya, Hatta tak mungkin melenyapkan Soekarno dari benaknya. Sejak 1932, mereka berdua telah berteman dan bahu membahu berjuang mendirikan Indonesia sekaligus merawatnya.
1 Desember 1956.Wakil Presiden Mohammad Hatta, resmi melepaskan jabatannya. Surat pengunduran diri Hatta sebenarnya sudah dikirim jauh-jauh hari sebelum itu yaitu pada 20 Juli 1954. Dwi tunggal Soekarno-Hatta, mulai hari itu juga, resmi tanggal. Berpisah jalan.
Meski telah mengundurkan diri, namun banyak pihak yang menginginkan agar Hatta bisa kembali aktif di pemerintahan. Beberapa agenda dan pertemuan digelar untuk menjajaki kemungkinkan ke arah itu.
Pada bulan September 1957, atas prakarsa Perdana Menteri Ir Djuanda, digelar Musyawarah Nasional yang membahas kemungkinan rekonsiliasi antara Soekarno-Hatta. Beberapa anggota DPR juga mengajukan mosi mengenai pemulihan kerja sama antara Soekarno-Hatta. DPR sendiri kemudian menerima mosi tersebut dan menyepakati dibentuknya panitia Ad Hoc untuk mencari dan merumuskan bentuk kerja sama yang baru antara Soekarno-Hatta. Panitia tersebut resmi dibentuk pada 29 September 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan.