Bagi setiap orang yang sekarang berminat mempelajari Boedi Oetomo, ia sulit meninggalkan karya Akira Nagazumi, “The Dawn of Indonesian Nationalism“. Karya ini dapat disebut “karya klasik” mengenai Boedi Oetomo.
Profesor Akira Nagazumi dari Universitas Tokyo menjelaskan panjang lebar soal pertumbuhan dan pengaruh Budi Utomo sejak didirikan pada tahun 1908, sebagai organisasi nasionalis pertama di Indonesia. Menurut dia, organisasi ini lebih bersifat kebudayaan daripada politik.
Meskipun karya tersebut baru diterbitkan berupa buku oleh Institute of Development Economics, Tokyo, tahun 1972, dan merupakan penyempurnaan dari disertasi Akira Nagazumi di Universitas Cornell, Amerika Serikat, lima tahun sebelumnya (1967), pengupasannya mengenai Boedi Oetomo mulai dari lahirnya pada 20 Mei 1908 sampai sepuluh tahun usianya (1918) dapat dijadikan acuan bagi mereka yang berminat mempelajari organisasi yang penting bagi sejarah Indonesia itu.
Judul bukunya Fajar-Menyingsingnya Nasionalisme Indonesia itu sering dinilai tidak tepat sebab Boedi Oetomo belum merupakan sebuah organisasi yang memperjuangkan cita-cita kebangsaan Indonesia seperti yang pada 1945 diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta.
Berikut sebuah tulisan dari Akira Nagazumi dari Majalah Tempo yang terbit 4 Juni 1988 dengan judul “Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa”.
*********************
Dewasa ini Budi Utomo dipandang sebagai organisasi nasional pertama yang lahir di Indonesia. Namun, penduduk pribumi berusaha menghubungkannya dengan organisasi-organisasi yang ada sebelum 1908. Majalah Retnodhoemilah, yang pertama terbit 1895, dan Pewarta Prijaji, yang muncul lima tahun kemudian, mencerminkan adanya hasrat di kalangan elite pribumi untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Walau nomor-nomor awal Retnodhoemilah disunting oleh seorang Belanda, dan orang Jawa sendiri tidak banyak berperanan, majalah ini diterbitkan dalam bahasa Melayu dan Jawa.
Isi majalah sebagian besar membicarakan masalah kondisi penduduk Jawa yang memburuk dengan perhatian khusus pada kalangan priayi, jelas ditujukan bagi pembaca elite pribumi. Orientasi seperti ini bahkan lebih kentara pada Pewarta Prijaji. Sementara oplah kedua majalah ini tidak diketahui, pada 1903, persatuan pembaca Pewarta Prijaji terbentuk di ibu kota tujuh belas keresidenan di Jawa dan Madura, dengan tiga puluh cabang di ibukota kabupaten. Kelompok ini tersebar merata di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Anggota perkumpulan terutama berasal dari priayi lapisan bawah: pemangku jabatan juru tulis kontrolir kolonial, juru tulis asisten residen dan pejabat pengadilan, atau priayi yang menjabat wedana, asisten wedana, jaksa, dan polisi.
Sesudah 1901, suara Retnodhoemilah mengalami perubahan mencolok yaitu sejak keredaksian diserahkan kepadaDokter Wahidin Soedirohoesodo. Baik dalam kedudukannya sebagai redaktur, maupun belakangan juga melalui usahanya sendiri, Wahidin memainkan peranan penting dalam penggalakan pendidikan dan penyadaran terhadap orang Jawa, dan juga menjadi penganjur utama bagi berdirinya Budi Utomo.
Lahir 1857 di salah satu keluarga tertua yang bermukim di Desa Mlati, di kaki Gunung Merapi, dekat Yogyakarta, Wahidin termasuk golongan priayi desa, seperti ditunjukkan oleh gelarnya yang sederhana: Mas Ngabehi. Karena Mlati terletak tidak jauh dari Yogyakarta, maka banyak bangsawan pribumi dan orang Eropa melewati desa ini, baik untuk alasan dagang maupun alasan wisata. Pendatang yang terkesan oleh kecerdasan Wahidin menganjurkan agar anak itu disekolahkan. Wahidin salah seorang di antara murid pribumi pertama yang diterima di sebuah sekolah dasar Eropa.
Tahun 1869, Wahidin meneruskan pendidikannya ke Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Ia membuktikan dirinya sebagai siswa yang pandai, sehingga diangkat menjadi asisten pada 1872. Beberapa tahun kemudian Wahidin melepaskan jabatannya, dan kembali ke Yogyakarta sebagai pegawai kesehatan pemerintah sampai September 1899.
Tahun 1901, ia menjadi redaktur Retnodhoemilah. Nama harum Wahidin bukan hanya didukung oleh kecakapannya sebagai ahli kesehatan. Ia juga dihormati sebagai orang yang rendah hati dan berpekerti halus, yang mampu memadu pendidikan Barat yang diterimanya dengan unsur-unsur terbaik dalam tradisi Jawa. Ia juga dikenal sebagai juru karawitan yang mumpuni, pandai memainkan banyak gending di luar kepala dengan gamelan apa saja, dan sebagai dalang wayang kulit kepandaiannya hanya kalah oleh dalang profesional. “Harmoni” merupakan tema tetap tulisan dan ceramah Wahidin.
Ia sendiri cukup luwes mempertahankan ketaatannya kepada budaya tradisional, tapi siap menyesuaikan diri dengan politi kolonial yang sehat. Ia melihat adanya semacam perhatian terhadap kesejahteraan penduduk pribumi, yang telah memungkinkan dirinya menjad seorang dokter. Bagi Wahidin, sebagai anggota golongan priayi bawahan yang berpendidikan Barat, politik etis lebih banyak memberikan janji ketimbang kekecewaan.
Sebagai redaktur Retnodhoemilah, Wahidin berusaha berkomunikasi dengan kalangan luas penduduk pribumi. Maka, dalam edisi pengangkatannya, ia mengumumkan, selanjutnya Retnodhoemilah tidak hanya diterbitkan di dalam bahasa Jawa, tetapi juga dalam bahasa Melajoe sedang bukan bahasa Melayu tinggi seperti yang sudah, sehingga pembaca Jawa bisa menangkap isinya dengan mudah. Selanjutnya, ia mengubah isi secara radikal. Rubrik luar negeri diperluas, dan laporan-laporan terinci mengenai Peristiwa Bokser di Cina, Perang Boer, dan kejadian-kejadian luar negeri lainnya menjadi berita utama. Karangan-karangan dalam Retnodhoemilah berangsur-angsur berubah, dari bernada pasif menjadi aktif.
Pada salah satu nomor, seorang penulis bernama Darat berkeluh-kesah tentang kemelaratan saudara-saudaranya setanah air dibandingkan dengan taraf hidup para pendatang Jepang, Cina, dan Arab, mencoba menggugah mereka agar mengikuti jejak para pendatang itu. Walau dalam karangan-karangan sebelumnya pun tidak pernah disebut-sebut secara khusus soal organisasi para imigran Cina di Batavia, yang didirikan pada 1900, peristiwa itu menimbulkan kesan mendalam bagi masyarakat pribumi. Perkumpulan tersebut, Tiong Hwa Hwe Koan, dibentuk sebagai protes terhadap keputusan pemerintah tahun 1899, yang memberikan kedudukan pada bangsa Jepang sama dengan bangsa Eropa.
Kedua perkembangan ini telah menggugah kaum terpelajar Jawa untuk berdaya upaya mempersatukan diri mereka. Sebuah karangan dalam Retnodhoemilah, 4 Januari 1901, menyambut berdirinya perkumpulan Mardiwara (Berupaya): Walau Mardiwara baru saja berdiri, jumlah priayi yang menjadi anggotanya sudah mencapai lebih dari seratus orang. Kecuali para pembesar dari kalangan kesultanan Yogyakarta, Mardiwara juga beranggotakan para pejabat di luar itu. Walau organisasi ini kelihatan lebih bersifat persaudaraan ketimbang bersifat gerakan, toh menarik diperhatikan karena inti persatuan adalah kesultanan Yogyakarta, dan anggotanya seratus orang lebih, yang terdiri atas para pembesar pribumi.
Sukar ditebak, apakah yang dimaksud Toemenggoeng Danoekoesoemo dengan “tanda kehormatan bagi kerajaan” kebesaran Negeri Belanda, ataukah kebesaran Mataram prakolonial. Tetapi bagi para pejabat yang berwawasan kepangkatan itu, kiranya tidak akan banyak berbeda arti. Biarlah kaum kolot tinggal di hutan belantara dan bersemadi sesuka hati, sampai maut merenggut jiwa raga mereka. Karena zaman modern menuntut kemajuan dan perbaikan syarat-syarat kehidupan, maka marilah kita mengambil langkah tegas. Agar kaum muda tidak mempunyai alasan untuk menertawakan mereka yang ada di tengah-tengah kaum muda dan kaum tua, yang berdiri mengempang jalan kemajuan. Meminta bantuan keuangan dari orang-orang Jawa yang berharta, penulis menunjuk pada pengalaman masa lalu, hampir semua organisasi bangsa Jawa mati karena ketiadaan dana. Dengan sedikit pedas ia menutup karangannya: Maka, menjadi jelas, apabila tidak ada seorangpun bersedia menyokong gagasan ini, penulis hanya bisa menyimpulkan bahwa bangsa Jawa memang belum menghendaki kemajuan, dan imbauan yang terkadang muncul di koran-koran itu sekadar buah bibir belaka, sementara di jantung hati mereka masih bersemayam pikiran-pikiran kolot. Jika memang demikian halnya, penulis pun akan bungkam seribu bahasa.
Pendirian Wahidin selama tahun-tahun awal menunjukkan bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan. Hal ini kelak dengan jelas diuraikan Soewardi Soeryaningrat, tokoh terkemuka dalam awal gerakan kebangsaan Indonesia dan pendiri perguruan Taman Siswa, dalam catatan kenangan untuk Wahidin.
Apa yang menurut Wahidin diperlukan ialah pendidikan secukup-cukupnya bagi masyarakat pribumi, dan mempertinggi kesadaran kebangsaan di kalangan orang Jawa. Perjuangan hidup mati yang terhampar di hadapan orang Jawa ialah memilih satu di antara dua: berjuang atau hancur. Dan Wahidin berpendapat, mereka harus bersiap sedia menghadapi perjuangan mendatang dengan jalan menyebarluaskan pendidikan. Dalam mempropagandakan masalah pendidikan Wahidin berpendapat, paling tepat dengan melakukan pendekatan pertama kepada mereka yang bisa memahami bahasa ibu, yaitu masyarakat Jawa.
Kendati pada 1901 ia menekankan pentingnya bahasa Melayu sebagai perantara, ia cenderung memotong bahasa ini. Alasannya: Jika tertulis dalam bahasa Melayu, banyak kaum priayi Jawa tidak akan bisa memahaminya, walau mereka mengerti bahasa Melayu pasar. Jika yang dipakai bahasa dan aksara Jawa, bahkan lurah pun akan mengerti. Malah mandor dan kulit pun bisa mengerti. Sejalan dengan pendiriannya ini, kebanyakan karangannya yang jelas bercorak kebangsaan dalam Retnodhoemilah, hanya terbit dalam edisi berbahasa Jawa, dan tidak pada edisi Melayu.
Terpusat pada pegawai pemerintah pribumi sebagai sasaran pokok kegiatannya, Wahidin mulai melancarkan propaganda besar-besaran tentang pemberian beasiswa bagi anak-anak muda pribumi yang pandai pada 1906. Ketidaksabarannya yang semakin memuncak menghadapi tanggapan dingin masyarakat Jawa itulah yang telah menggugahnya melakukan tindakan yang lebih nyata.
Pada November tahun itu juga dengan alasan kesehatan pribadi, ditinggalkannya jabatan ketua redaksi Retnodhoemilah untuk mencari kebebasan berkiprah lebih besar. Dalam propagandanya, Wahidin bersama dengan Pangeran Aria Noto Dirodjo, putra Pakualam V. Wahidin mempunyai hubungan erat dengan keluarga Pakualam selama bertahun-tahun, karena juga mereka dikenal sebagai pendukung aktif pendidikan Barat.
Tetapi semangat kedua tokoh ini sama sekali tidak bisa mengatasi masalah yang menyangkut umur masing-masing – Wahidin, 51 tahun, dan Noto Dirodjo satu tahun lebih muda. Selain itu, juga masalah pembiayaan untuk kegiatan mereka tersebut. Wahidin lalu mendekati priayi lebih tua dan lebih tinggi, khususnya para bupati yang kaya dan berpengaruh, tetapi tak banyak di antara mereka itu yany menaruh minat pada usahanya. Di sana-sini terkadang Wahidin harus menghadapi tentangan keras dari kalangan bupati, yang memandangnya sebagai hendak mengguncang ketenteraman dan ketertiban sistem yang berlaku. Setengahnya lagi berpaling muka semata-mata karena kedudukan rendah Wahidin sebagai dokter Jawa, yang berpangkat sejajar dengan asisten wedana senior saja. Kendati demikian, perjalanan kampanye itu tidak gagal sama sekali.
Setidak-tidaknya telah terbuka kemungkinan kerja sama dengan para pejabat pribumi, khususnya di Jawa Tengah. Di beberapa daerah, sejumlah priayi bahkan terang-terangan menyokong usahanya. Belakangan ia menceritakan pengalamannya dengan seorang asisten residen kepada temantemannya. Asisten residen ini dengan keras menolak kampanyenya, sehingga para priayi di daerahnya menjadi takut berjumpa dengan Wahidin. Tanpa takut, ia memutuskan menghadap asisten residen secepatnya. Setelah masuk ke kantor asisten residen, Wahidin berdiri mematung di sana sampai sang asisten residen berpaling kepadanya. Dengan berpura-pura ketakutan, ia mengendap-endap di depan meja pembesar itu. Ia tidak melalaikan kata-kata penghormatan sepatah pun. Asisten Residen menjadi lunak, secercah senyum terbit di wajahnya. Lalu berkatalah pembesar itu: “Dokter, rencanamu harus disokong sebesar-besarnya. Anda harus bicara di depan rapat, agar semua pegawai saya bisa mendengar kata-kata Anda sendiri.”
Dengan dengan bantuan asisten residen yang semula berniat menggagalkan rencananya itu, ia berhasil mendapat dukungan yang luar biasa besar. Sudah tentu Wahidin tidak selalu berhasil. Tetapi pembawaannya yang tenang dan meyakinkan menimbulkan kepercayaan pada setiap orang yang dijumpainya, dan sangat membantu terhadap pertemuannya yang paling penting, yaitu dengan murid-murid STOVIA.
Sesungguhnya Wahidin sama sekali tidak bermaksud singgah di STOVIA. Pada akhir 1907 ketika itu ia hanya ingin beristirahat di Batavia, sesudah dari perjalanannya yang panjang. Selagi ia di sana, Soetomo dan Soeradji tiba-tiba saja memutuskan hendak mengundang dokter itu dan mendengarkan gagasan-gagasannya. Mereka temyata tergugah oleh semangat orang tua itu.
Mengenang pertemuan pertama itu dalam memoarnya Soetomo menulis:Yang membikin saya terkejut dan tertarik ialah perangai dan pikiran dokter tua ini. Ia mampu memusatkan kegiatannya dan mengatasi rintangan-rintangan yang terus-menerus mengalangi cita-citanya. Saya berhadapan dengan Dokter Wahidin Soedirohoesodo, yang berwajah tenang tapi tajam, dan kepandaiannya mengutarakan pikirannya sangat berkesan pada saya. Suaranya yang jelas dan tenang membuka pikiran dan hati saya, dan membuka dunia baru yang melipur jiwa saya yang terluka dan sakit. Berbicara dengan Dokter Wahidin merupakan pengalaman yang sangat mengharukan. Orang akan dengan mudah tahu tentang luhurnya semangat pengabdian dokter ini.
Baik Soetomo maupun Soeradji lahir tahun 1888, dan berumur sekitar 20 tahun, duduk di kelas lima, pada waktu mereka bertemu Wahidin. Kedua-duanya masuk sekolah ini 10 Januari 1903, walaupun, ironisnya, mereka tidak berniat masuk sekolah kedokteran.
Dengan agak sinis Soetomo melukiskan bagaimana ia menjadi siswa STOVIA tanpa melalui ujian masuk: Sebelum saya sempat berpikir menjadi dokter, ibu saya bermimpi. Dalam mimpinya, ibu melihat saya berdiri di pucuk sebatang tiang bambu. Ibu saya bicara pada diri sendiri: “Anakku sudah bisa memperoleh cukup pendidikan untuk mencapai cita-citanya. Seandainya anakku akan menjadi priayi, maka jelas untuk memanjat tiang bambu itu memerlukan waktu yang tak terkira lamanya. Padahal, anakku masih bersekolah. Jadi, apa kiranya makna mimpi itu?” Maka, dimintanya Pak Soeto, bekas gurunya, datang menguraikan rahasia impiannya itu.
Dua hari setelah itu, mengikuti petunjuk Pak Soeto, Ibu membikin selamatan. Telegram datang memberitakan kepadanya bahwa saya telah dipilih menjadi (murid untuk belajar sebagai) dokter tanpa harus menempuh ujian wajib. Kisah ini merupakan contoh jelas untuk pendapat Wahidin, tentang orang Jawa rata-rata yang memandang rendah pada jabatan-jabatan kekaryaan (keprofesian), walaupun jabatan-jabatan demikian semakin lama semakin tergolong di dalam kepangkatan priayi. Bagi ibu Soetomo tiang bambu bisa diartikan priayi, tapi tak seorang pun dari mereka pernah menduga tentang kemungkinan dirinya akan bisa menjadi dokter Jawa.
Sama halnya pengalaman Soeradji. Semula ia berharap menjadi priayi, maka mendaflarlah ke OSVIA, dahulu termasuk lembaga hoofdenscholen yang direorganisasi tahun 1900 menjadi sekolah untuk pejabat pribumi. Diterangkan Soetomo: Soeradji sebenarnya lulus ujian masuk OSVM, tetapi tidak diterima, karena ada calon lain yang lebih berbangsa ketimbang dia. Ini aturan yang sama sekali tidak demokratis, tetapi barangkali cocok bagi segolongan tertentu seperti para pejabat pemerintah Eropa itu.
Mereka menganggap bahwa kepandaian, kecerdasan, dan kelakuan belum merupakan syarat-syarat cukup bagi elite pribumi untuk memangku kedudukan yang berpangkat tinggi. Akankah Anda mengatakan aturan demikian konsentatif dan kolot? Tak perlu saya berkomentar. Tetapi saya pikir, yang penting agar orang menjadi sadar bahwa sikap yang semacam inilah yang dengan mudah membangkitkan perasaan yang akan memperlebar dan memperdalam jurang antara kita dengan pemerintah. Walau barangkali banyak murid seperti Soetomo dan Soeradji yang pernah mencoba masuk ke sekolah-sekolah yang lebih bergengsi, bagaimanapun STOVIA merupakan sebuah dari sedikit lembaga pendidikan lanjutan yang ada saat itu, dan para muridnya pada umumnya bangga dengan sekolah tersebut.
Tentang sekolah ini pernah Soetomo mengobral pujiannya: Pendidikan dan bimbingan yang diberikan di sekolah ini sangat baik. Tidak sekadar memenuhi tujuannya untuk mencetak ahli-ahli kesehatan yang akan berguna bagi masyarakat, tetapi sekolah ini pun memberikan kemungkinan bagi para pemuda yang tak mampu meneruskan sekolahnya agar kelak memperoleh kedudukan yang sebaik-baiknya. Misalnya menjadi bupati, patih, wedana, jaksa, pegawai kantorpos, kantor pajak, BOW atau kantor pekerjaan umum, pemimpin-pemimpin bangsa, pengarang, dan wartawan.
Para siswa STOVIA, yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil itu, juga memperoleh dorongan intelektual dari kota besar dan modem. Sekolah itu terletak di Weltevreden di jantung Batavia yang, sebagai kota terbesar, menjadi pusat kegiatan politik, perekonomian, dan kebudayaan di Hindia, serta merupakan pintu gerbang paling penting ke dunia luar. Juga Batavia menjadi kediaman satu kelompok intelektual nonpolitik pribumi, yang kecil tapi sedang tumbuh.
Karena STOVIA pada hakikatnya merupakan satu-satunya lembaga pendidikan menengah di Batavia dan sekitarnya, maka wajarlah bila siswa-siswanya bergaul dengan kelompok intelektual ini, terpengaruh oleh ide-ide mereka. Tokoh terkemuka kalangan intelektual ini, antara E.F.E. Douwes Dekker, seorang Indo-Eropa dan saudara jauh Multatuli, penulis novel terkenal Max Havelaar itu.
Douwes Dekker saat itu redaktur surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad. Karena ia tinggal dalam jarak seperjalanan kaki saja dari sekolah itu, rumahnya biasa dipakai sebagai “tempat berkumpul sekaligus perpustakaan dan ruang baca” bagi para siswa.
Soetomo menulis tentang Douwes Dekker: Hubungan saya dengan Douwes Dekker akrab dan bersahabat, Karena itu, rumahnya selalu terbuka bagi saya. Douwes Dekker seorang sahabat yang selalu teguh dan setia dalam membantu kami melalui surat kabarnya, walaupun cita-citanya, yang kemudian menjelma di dalam (Indische) Partij, tidak dianut di kalangan kami.
Menurut D.M.G. Koch, seorang sosialis Belanda yang selama setengah abad tinggal di Hindia, Douwes Dekker menyimpan gagasan untuk mendirikan sebuah partai, tempat bangsa Indonesia dan Indo-Eropa bekerja sama demi “kemerdekaan” sejak 1907. Jika demikian, ia pasti pernah memperbincangkan gagasannya ini dengan para siswa itu.
Dalam melukiskan Soetomo, Koch menyatakan: Ia orang yang “jujur luar biasa, walau emosional dan gampang terpengaruh . . . memang, ia bukanlah orangnya untuk siasat-menyiasat politik yang lembut dengan segala kecerdikan dan tipu dayanya.”
Jika perangainya yang demikian itu dianggap sebagai pasiva kelak, selama tahun-tahun pertama Budi Utomo jelas merupakan aktiva. Seotomo memiliki simpanan energi yang luar biasa besarnya, dan mampu menyalakan semangat para siswa rekan-rekannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar